There's no such thing as a free lunch...Or is there?

Image
It's official. The next president of Indonesia is former army general Prabowo Subianto. Quite how the next five years will pan out is anyone's guess but hopefully the foreign pundits who always bring up his dodgy human rights record will be proven wrong. Nonetheless, on policy making, Prabowo's popularist move to literally offer the poor 'a free lunch' every day of the week does not augur well for the future. Such a policy - if it ever came to fruition - would cost a phenomenal amount of money and likely lead to huge inefficiencies (food waste) and poor incentives (make people lazy). Another concern is Prabowo's strong nationalist bent. Thus, in the possible event that he finds himself with his back against the proverbial wall in the face of stern economic challenges, there is a big chance that he will simply scapegoat foreigners. But he will have to be careful. Construction of the new capital city, Nusantara, for example, is highly dependent on foreign in

Upaya upaya membangun Monas kecil di Jakarta Selatan

Pembaca blog ini pasti tahu bahwa saya pengagum Monas, sebuah monumen mewah yg dibangun President Sukarno tahun 60an.


Membangun monumen ini memang habis banyak uang. Dan waktu Monas dibangun, banyak rakyat Indonesia hidup susah payah. Makan aja susah. Tapi Sukarno tetap ngotot. “Monas harus dibangun!” dia teriak.

Memang Monas bukan sekadar monumen saja, tetapi sebuah simbol kemampuan sexual si pemimpin. Seperti Nelson’s Column di London atau the Washington Monument di America. Berarti, dengan membangun monumen ini, “vitalitas” Sukarno tahan selamanya walaupun dia sudah lama meninggal.

Berapa minggu lalu sewaktu saya memotret
lunar eclipse di Monas saya punya idea: saya akan bikin sebuah Monus di halaman rumah saya! Tentu saja saya nggak bisa membangun sebuah monumen sehebat Monus yg ada di Lapangan Merdeka - saya cuma wong cilik kok dan dana saya terbatas. Tapi saya masih bisa membangun sebuah monumen yg cukup mewah juga – ketinggian tiga atau empat meter mungkin. Tapi kapan saya seharusnya memulai proyek ini? Tentu saja sekarang! Kerna saya tidak muda lagi, dan dengan usia sedikit di atas 35 tahun, kemungkinan besar separuh hidup saya sudah lewat.

Jadi, hari Jumat lalu sewaktu libur untuk Lebaran saya mulai kerja dan membongkar sebuah kolam ikan yg kecil di halaman depan rumah. Di situ saya akan membangun monument saya. Lalu saya menggambarkan design yg saya akan implementasi. Awalnya, saya berfikir bahwa proyek ini saya seharusnya tender kepada pihak lain - tapi saya takut kalau ##### tahu dia pasti minta bagian. Dan kalau Kantor Pajak tahu, mereka juga pasti minta bagian juga. Tidak – saya akan membangun monumen ini sendiri. Lebih hemat, lebih baik. Tapi saya perlu berapa banyak emas untuk melapis “kepala” monumen ini?

Sekitar jam dua, isteri saya pulang dari Carrefour. Dia lalu masuk rumah dan lihat saya di meja dengan gambar gambar saya.

Dia: Hi honey! Apa gambar gambar itu? Seperti gambar jorok…
Saya: Tidak! Saya lagi bikin design Monas kecil.
Dia: Monas kecil?
Saya: ya – saya mau membangun sebuah monument seperti Monas di halaman depan rumah.
Dia: Hahaha! Kamu lagi minum whisky, ya?
Saya: er, tidak sayang. Tapi saya harus, er, kasih tahu - saya perlu emasmu.
Dia: Uh? Emas saya? Maksudmu?
Saya: Ya. Saya perlu cukup banyak emas (dia ada 7 gelang - 5 dari Ibunya, 2 dari saya -, 3 cincin, 4 kalung dll). Dan saya perlu semuanya untuk melapis batu batu paling atas monument yg saya akan bikin.
Dia: Apasih???...
Saya: Kadang kadang kita harus rela mengorbankan honey…
Dia: Kamu benar benar sinting ya?! Apakah kamu mau kasih kepada saya jam Tag Heuler loe?
Saya: Itu lain cerita!! Nggak ada emas di dalam jam itu! Dan awas loe! Jangan kamu pegang jam saya juga!!
Dia: (dia lihat saya sebentar) Kok baju loe kotor sih?
Saya: Yah – saya baru bongkar kolam ikan tadi pagi. Capek bangat, panas minta ampun.
Dia: Astaga! Kamu benar benar serious kan? (lalu dia keluar rumah ke halaman depan dan saya dengar dia menjerit. Berapa detik lagi dia masuk ke rumah lagi, dan seperti marah sekali, melempar sebuah batu kecil kepada arah saya)
Saya: Tenang sayang!!! Ini proyek yg sangat penting buat saya!!! Nanti kalau saya sudah mati cucu cucu saya pasti bangga saya bangun sebuah monumen di halaman rumah.
Dia: Aduh… anak kamu sendiri masih SD. Dan kamu udah tahu untuk sementara tidak ada pembantu – dan kamu tidak malu bikin rumah kotor seperti ini! Pakai otakmu! (note: kalau tidak ada pembantu, dia seperti trauma bangat! Terlalu dimanja!)
Aku: Ok – I’m sorry - saya akan membeli emas di Toko Mas aja…
Dia: (dia panggil anak, ambil kunci mobil dari meja) Saya akan ke rumah adik saya di Kemang (lalu dia tutup pintu dengan keras, dan berapa detik lagi saya sadar bahwa saya sendiri lagi di rumah. Tapi saya tidak putus asa. Kerna lebih enak kerja sendiri, kan? Jadi saya minum satu gelas whisky aja, dan setelah itu saya jalan ke halaman depan rumah dan mulai menggali tanah untuk siapkan fondasi…

Comments

  1. There's something odd here, I couldn't understand what. Oh wait, it is written in Indonesian!

    How's the project going now, sir? :D

    ReplyDelete
  2. hahaha... how's your monument project going on?

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

The 10 best plus plus massage spas in Jakarta

20 things you should know about Indonesian women

The comfort zone (Jakarta hotel and spa)